Mendukung Hukuman Mati Koruptor

Posted by Unknown on Dec 1, 2012


Korupsi adalah kejahatan yang menjadi musuh bersama (idealnya begitu). Tapi kenyataannya korupsi makin menjadi-jadi menggerogoti bangsa ini. Kalau bisa dikatakan, korupsi adalah “budaya gagal” bangsa ini, 
ya
ng sangat nyata turut menyumbangkan kesengsaraan bagi rakyat dan memberikan aib di mata dunia. Betapa tidak, bangsa yang mengaku sebagai bangsa relegi dengan keyakinan keagamaan yang kuat tapi nyatanya kasus korupsi makin menggila. Indonesia pun selalu masuk TOP FIVE negara terkorup di Asia. Sangat ironis.

Foto: Mendukung Hukuman Mati Koruptor



Korupsi adalah kejahatan yang menjadi musuh bersama (idealnya begitu). Tapi kenyataannya korupsi makin menjadi-jadi menggerogoti bangsa ini. Kalau bisa dikatakan, korupsi adalah “budaya gagal” bangsa ini, ya
ng sangat nyata turut menyumbangkan kesengsaraan bagi rakyat dan memberikan aib di mata dunia. Betapa tidak, bangsa yang mengaku sebagai bangsa relegi dengan keyakinan keagamaan yang kuat tapi nyatanya kasus korupsi makin menggila. Indonesia pun selalu masuk TOP FIVE negara terkorup di Asia. Sangat ironis.

Perdebatan tentang pro kontra mengenai hukuman mati para koruptor adalah sangat lumrah. Melalui tulisan ini, saya ingin mengeluarkan unek-unek perasaan dan “kegelisahan” melihat makin maraknya kasus korupsi di tanah air tercinta ini. Pelaku-pelaku koruptor sebagian kecilnya berhasil diciduk KPK dan polisi. Tapi yang bikin gemas, mereka yang sudah disidang di meja hijau malah sebagian besar bebas tanpa terjerat hukum. Hanya 5 persen saja yang bernasib sial dihukum lebih dari 5 tahun. Padahal mereka ini bandit-bandit berdasi yang sudah membobol uang rakyat miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah.

Saya bukanlah aktivisi antikorupsi atau ahli hukum yang fasih berdalil dengan pasal-pasal UU Antikorupsi atau KUHP. Banyak cara telah dilakukan oleh KPK, aparat penegak hukum lainnya serta aktivis antikorupsi, pemerintah sampai tokoh masyarakat lintas agama telah mengeluarkan pemikiran dan tindakan nyata membasmi korupsi. Tapi nyatanya, makin besar saja kebocoran uang negara oleh ulah koruptor.

Mungkin solusi yang layak dicoba adalah hukuman mati untuk koruptor. Tentu harus ada aturan tegas dan jelas mengenai kriteria tindakan korupsi yang mana yang bisa menggiring sang koruptor ke tiang eksekusi hukuman mati. Walau banyak yang menentangnya, tapi ada baiknya wacana ini kita diskusikan bersama.

Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor (mengutip tulisan Bang Emerson Yuntho).

Logika sederhana saya mengapa perampok uang negara itu pantas dihukum mati adalah karena kejahatan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Setiap tahun berapa banyak uang rakyat yang ditilap koruptor. Lihat saja angka kecelakaan lalu lintas yang merenggut ribuan nyata, yang ada hubungan dengan buruknya infrastruktur jalan yang sebagian uang proyeknya masuk kantong pejabat. Begitu juga dengan penyediaan sarana kesehatan di daerah-daerah yang minim sehingga ribuan ibu hamil menghembuskan nafas karena terlambat mendapat penangan medis, lagi-lagi karena keterbatasan fasilitas kesahatan, dokter desa, minimnya infrastruktur jalan dan jembatan. Belum lagi jutaan anak didik usia sekolah yang putus pendidikan lagi-lagi karena mahalnya biaya yang harus ditanggung orangtuanya. Padahal pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis, jika APBD yang rata 25% lebih dikorup. Masih banyak alasan lainnya yang bisa menjadi bukti nyata bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat hukuman paling berat, yakni hukuman mati.

Berikut rangking provinsi terkorup yang rilis FITRA dan diterima di Jakarta, Senin (10/9).

1). DKI Jakarta, Rp 721, 5 miliar, 715 kasus
2). Aceh Rp 669,8 miliar dan 620 kasus
3). Sumatera Utara, Rp 515,5 miliar, 334 kasus
4). Papua, Rp 476,9 miliar, 281 kasus
5). Kalimantan Barat, Rp 289,8 miliar, 334 kasus

6). Papua Barat, Rp 169 miliar, 514 kasus
7). Sulawesi Selatan, Rp 157,7 miliar, 589 kasus
8). Sulawesi Tenggara, Rp 139,9 miliar, 513 kasus
9). Riau, Rp 125,2 miliar, 348 kasus
10). Bengkulu, Rp 123,9 miliar, 257 kasus

11). Maluku Utara, Rp 114,2 miliar, 732 kasus
12). Kalimantan Timur, Rp 80,1 miliar, 244 kasus
13). Sumatera Selatan, Rp 56,4 miliar, 239 kasus
14). Nusa Tenggara Barat, Rp 52,8 miliar, 307 kasus
15). Sulawesi Tengah, Rp 52,8 miliar, 294 kasus

16). Sulawesi Barat, Rp 51,3 miliar, 335 kasus
17). Gorontalo, Rp 48,8 miliar, 203 kasus
18). Maluku, Rp 47,8 miliar, 326 kasus
19). Nusa Tenggara Timur, Rp 44,4 miliar, 219 kasus
20). Jawa Barat, Rp 32,4 miliar, 363 kasus

21). Lampung, Rp 28,4 miliar, 181 kasus
22). Sumatera Barat, Rp 27,4 miliar, 188 kasus
23). Kalimantan Selatan, Rp 22,8 miliar, 221 kasus
24). Kalimantan Tengah, Rp 21,4 miliar, 153 kasus

25). Banten, Rp 20,1 miliar, 207 kasus
26). Kepulauan Riau, Rp 16,1 miliar, 109 kasus
27). Sulawesi Utara, Rp 16 miliar, 227 kasus
28). Jambi, Rp 15,8 miliar, 172 kasus
29). Jawa Timur, Rp 11,424 miliar, 153 kasus
30). Jawa Tengah, Rp 10,4 miliar, 145 kasus

31). Bali, Rp 6,2 miliar, 81 kasus
32). DIY, Rp 4,7 miliar, 23 kasuss
33). Kepulauan Bangka Belitung, Rp 1, 9 miliar, 76 kasus
Foto: Mendukung Hukuman Mati Koruptor Korupsi adalah kejahatan yang menjadi musuh bersama (idealnya begitu). Tapi kenyataannya korupsi makin menjadi-jadi menggerogoti bangsa ini. Kalau bisa dikatakan, korupsi adalah “budaya gagal” bangsa ini, yang sangat nyata turut menyumbangkan kesengsaraan bagi rakyat dan memberikan aib di mata dunia. Betapa tidak, bangsa yang mengaku sebagai bangsa relegi dengan keyakinan keagamaan yang kuat tapi nyatanya kasus korupsi makin menggila. Indonesia pun selalu masuk TOP FIVE negara terkorup di Asia. Sangat ironis. Perdebatan tentang pro kontra mengenai hukuman mati para koruptor adalah sangat lumrah. Melalui tulisan ini, saya ingin mengeluarkan unek-unek perasaan dan “kegelisahan” melihat makin maraknya kasus korupsi di tanah air tercinta ini. Pelaku-pelaku koruptor sebagian kecilnya berhasil diciduk KPK dan polisi. Tapi yang bikin gemas, mereka yang sudah disidang di meja hijau malah sebagian besar bebas tanpa terjerat hukum. Hanya 5 persen saja yang bernasib sial dihukum lebih dari 5 tahun. Padahal mereka ini bandit-bandit berdasi yang sudah membobol uang rakyat miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah. Saya bukanlah aktivisi antikorupsi atau ahli hukum yang fasih berdalil dengan pasal-pasal UU Antikorupsi atau KUHP. Banyak cara telah dilakukan oleh KPK, aparat penegak hukum lainnya serta aktivis antikorupsi, pemerintah sampai tokoh masyarakat lintas agama telah mengeluarkan pemikiran dan tindakan nyata membasmi korupsi. Tapi nyatanya, makin besar saja kebocoran uang negara oleh ulah koruptor. Mungkin solusi yang layak dicoba adalah hukuman mati untuk koruptor. Tentu harus ada aturan tegas dan jelas mengenai kriteria tindakan korupsi yang mana yang bisa menggiring sang koruptor ke tiang eksekusi hukuman mati. Walau banyak yang menentangnya, tapi ada baiknya wacana ini kita diskusikan bersama. Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor (mengutip tulisan Bang Emerson Yuntho). Logika sederhana saya mengapa perampok uang negara itu pantas dihukum mati adalah karena kejahatan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Setiap tahun berapa banyak uang rakyat yang ditilap koruptor. Lihat saja angka kecelakaan lalu lintas yang merenggut ribuan nyata, yang ada hubungan dengan buruknya infrastruktur jalan yang sebagian uang proyeknya masuk kantong pejabat. Begitu juga dengan penyediaan sarana kesehatan di daerah-daerah yang minim sehingga ribuan ibu hamil menghembuskan nafas karena terlambat mendapat penangan medis, lagi-lagi karena keterbatasan fasilitas kesahatan, dokter desa, minimnya infrastruktur jalan dan jembatan. Belum lagi jutaan anak didik usia sekolah yang putus pendidikan lagi-lagi karena mahalnya biaya yang harus ditanggung orangtuanya. Padahal pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis, jika APBD yang rata 25% lebih dikorup. Masih banyak alasan lainnya yang bisa menjadi bukti nyata bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat hukuman paling berat, yakni hukuman mati. Berikut rangking provinsi terkorup yang rilis FITRA dan diterima di Jakarta, Senin (10/9). 1). DKI Jakarta, Rp 721, 5 miliar, 715 kasus 2). Aceh Rp 669,8 miliar dan 620 kasus 3). Sumatera Utara, Rp 515,5 miliar, 334 kasus 4). Papua, Rp 476,9 miliar, 281 kasus 5). Kalimantan Barat, Rp 289,8 miliar, 334 kasus 6). Papua Barat, Rp 169 miliar, 514 kasus 7). Sulawesi Selatan, Rp 157,7 miliar, 589 kasus 8). Sulawesi Tenggara, Rp 139,9 miliar, 513 kasus 9). Riau, Rp 125,2 miliar, 348 kasus 10). Bengkulu, Rp 123,9 miliar, 257 kasus 11). Maluku Utara, Rp 114,2 miliar, 732 kasus 12). Kalimantan Timur, Rp 80,1 miliar, 244 kasus 13). Sumatera Selatan, Rp 56,4 miliar, 239 kasus 14). Nusa Tenggara Barat, Rp 52,8 miliar, 307 kasus 15). Sulawesi Tengah, Rp 52,8 miliar, 294 kasus 16). Sulawesi Barat, Rp 51,3 miliar, 335 kasus 17). Gorontalo, Rp 48,8 miliar, 203 kasus 18). Maluku, Rp 47,8 miliar, 326 kasus 19). Nusa Tenggara Timur, Rp 44,4 miliar, 219 kasus 20). Jawa Barat, Rp 32,4 miliar, 363 kasus 21). Lampung, Rp 28,4 miliar, 181 kasus 22). Sumatera Barat, Rp 27,4 miliar, 188 kasus 23). Kalimantan Selatan, Rp 22,8 miliar, 221 kasus 24). Kalimantan Tengah, Rp 21,4 miliar, 153 kasus 25). Banten, Rp 20,1 miliar, 207 kasus 26). Kepulauan Riau, Rp 16,1 miliar, 109 kasus 27). Sulawesi Utara, Rp 16 miliar, 227 kasus 28). Jambi, Rp 15,8 miliar, 172 kasus 29). Jawa Timur, Rp 11,424 miliar, 153 kasus 30). Jawa Tengah, Rp 10,4 miliar, 145 kasus 31). Bali, Rp 6,2 miliar, 81 kasus 32). DIY, Rp 4,7 miliar, 23 kasuss 33). Kepulauan Bangka Belitung, Rp 1, 9 miliar, 76 kasus

Perdebatan tentang pro kontra mengenai hukuman mati para koruptor adalah sangat lumrah. Melalui tulisan ini, saya ingin mengeluarkan unek-unek perasaan dan “kegelisahan” melihat makin maraknya kasus korupsi di tanah air tercinta ini. Pelaku-pelaku koruptor sebagian kecilnya berhasil diciduk KPK dan polisi. Tapi yang bikin gemas, mereka yang sudah disidang di meja hijau malah sebagian besar bebas tanpa terjerat hukum. Hanya 5 persen saja yang bernasib sial dihukum lebih dari 5 tahun. Padahal mereka ini bandit-bandit berdasi yang sudah membobol uang rakyat miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah.

Saya bukanlah aktivisi antikorupsi atau ahli hukum yang fasih berdalil dengan pasal-pasal UU Antikorupsi atau KUHP. Banyak cara telah dilakukan oleh KPK, aparat penegak hukum lainnya serta aktivis antikorupsi, pemerintah sampai tokoh masyarakat lintas agama telah mengeluarkan pemikiran dan tindakan nyata membasmi korupsi. Tapi nyatanya, makin besar saja kebocoran uang negara oleh ulah koruptor.

Mungkin solusi yang layak dicoba adalah hukuman mati untuk koruptor. Tentu harus ada aturan tegas dan jelas mengenai kriteria tindakan korupsi yang mana yang bisa menggiring sang koruptor ke tiang eksekusi hukuman mati. Walau banyak yang menentangnya, tapi ada baiknya wacana ini kita diskusikan bersama.

Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor (mengutip tulisan Bang Emerson Yuntho).

Logika sederhana saya mengapa perampok uang negara itu pantas dihukum mati adalah karena kejahatan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Setiap tahun berapa banyak uang rakyat yang ditilap koruptor. Lihat saja angka kecelakaan lalu lintas yang merenggut ribuan nyata, yang ada hubungan dengan buruknya infrastruktur jalan yang sebagian uang proyeknya masuk kantong pejabat. Begitu juga dengan penyediaan sarana kesehatan di daerah-daerah yang minim sehingga ribuan ibu hamil menghembuskan nafas karena terlambat mendapat penangan medis, lagi-lagi karena keterbatasan fasilitas kesahatan, dokter desa, minimnya infrastruktur jalan dan jembatan. Belum lagi jutaan anak didik usia sekolah yang putus pendidikan lagi-lagi karena mahalnya biaya yang harus ditanggung orangtuanya. Padahal pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis, jika APBD yang rata 25% lebih dikorup. Masih banyak alasan lainnya yang bisa menjadi bukti nyata bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat hukuman paling berat, yakni hukuman mati.

Berikut rangking provinsi terkorup yang rilis FITRA dan diterima di Jakarta, Senin (10/9).

1). DKI Jakarta, Rp 721, 5 miliar, 715 kasus
2). Aceh Rp 669,8 miliar dan 620 kasus
3). Sumatera Utara, Rp 515,5 miliar, 334 kasus
4). Papua, Rp 476,9 miliar, 281 kasus
5). Kalimantan Barat, Rp 289,8 miliar, 334 kasus

6). Papua Barat, Rp 169 miliar, 514 kasus
7). Sulawesi Selatan, Rp 157,7 miliar, 589 kasus
8). Sulawesi Tenggara, Rp 139,9 miliar, 513 kasus
9). Riau, Rp 125,2 miliar, 348 kasus
10). Bengkulu, Rp 123,9 miliar, 257 kasus

11). Maluku Utara, Rp 114,2 miliar, 732 kasus
12). Kalimantan Timur, Rp 80,1 miliar, 244 kasus
13). Sumatera Selatan, Rp 56,4 miliar, 239 kasus
14). Nusa Tenggara Barat, Rp 52,8 miliar, 307 kasus
15). Sulawesi Tengah, Rp 52,8 miliar, 294 kasus

16). Sulawesi Barat, Rp 51,3 miliar, 335 kasus
17). Gorontalo, Rp 48,8 miliar, 203 kasus
18). Maluku, Rp 47,8 miliar, 326 kasus
19). Nusa Tenggara Timur, Rp 44,4 miliar, 219 kasus
20). Jawa Barat, Rp 32,4 miliar, 363 kasus

21). Lampung, Rp 28,4 miliar, 181 kasus
22). Sumatera Barat, Rp 27,4 miliar, 188 kasus
23). Kalimantan Selatan, Rp 22,8 miliar, 221 kasus
24). Kalimantan Tengah, Rp 21,4 miliar, 153 kasus

25). Banten, Rp 20,1 miliar, 207 kasus
26). Kepulauan Riau, Rp 16,1 miliar, 109 kasus
27). Sulawesi Utara, Rp 16 miliar, 227 kasus
28). Jambi, Rp 15,8 miliar, 172 kasus
29). Jawa Timur, Rp 11,424 miliar, 153 kasus
30). Jawa Tengah, Rp 10,4 miliar, 145 kasus

31). Bali, Rp 6,2 miliar, 81 kasus
32). DIY, Rp 4,7 miliar, 23 kasuss
33). Kepulauan Bangka Belitung, Rp 1, 9 miliar, 76 kasus
Foto: Mendukung Hukuman Mati Koruptor Korupsi adalah kejahatan yang menjadi musuh bersama (idealnya begitu). Tapi kenyataannya korupsi makin menjadi-jadi menggerogoti bangsa ini. Kalau bisa dikatakan, korupsi adalah “budaya gagal” bangsa ini, yang sangat nyata turut menyumbangkan kesengsaraan bagi rakyat dan memberikan aib di mata dunia. Betapa tidak, bangsa yang mengaku sebagai bangsa relegi dengan keyakinan keagamaan yang kuat tapi nyatanya kasus korupsi makin menggila. Indonesia pun selalu masuk TOP FIVE negara terkorup di Asia. Sangat ironis. Perdebatan tentang pro kontra mengenai hukuman mati para koruptor adalah sangat lumrah. Melalui tulisan ini, saya ingin mengeluarkan unek-unek perasaan dan “kegelisahan” melihat makin maraknya kasus korupsi di tanah air tercinta ini. Pelaku-pelaku koruptor sebagian kecilnya berhasil diciduk KPK dan polisi. Tapi yang bikin gemas, mereka yang sudah disidang di meja hijau malah sebagian besar bebas tanpa terjerat hukum. Hanya 5 persen saja yang bernasib sial dihukum lebih dari 5 tahun. Padahal mereka ini bandit-bandit berdasi yang sudah membobol uang rakyat miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah. Saya bukanlah aktivisi antikorupsi atau ahli hukum yang fasih berdalil dengan pasal-pasal UU Antikorupsi atau KUHP. Banyak cara telah dilakukan oleh KPK, aparat penegak hukum lainnya serta aktivis antikorupsi, pemerintah sampai tokoh masyarakat lintas agama telah mengeluarkan pemikiran dan tindakan nyata membasmi korupsi. Tapi nyatanya, makin besar saja kebocoran uang negara oleh ulah koruptor. Mungkin solusi yang layak dicoba adalah hukuman mati untuk koruptor. Tentu harus ada aturan tegas dan jelas mengenai kriteria tindakan korupsi yang mana yang bisa menggiring sang koruptor ke tiang eksekusi hukuman mati. Walau banyak yang menentangnya, tapi ada baiknya wacana ini kita diskusikan bersama. Kita semua sepakat bahwa korupsi melanggar HAM dan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), merusak sendi perekonimian negara dan merupakan musuh bersama bangsa ini. Semua rakyat Indonesia benci dan geram terhadap koruptor (mengutip tulisan Bang Emerson Yuntho). Logika sederhana saya mengapa perampok uang negara itu pantas dihukum mati adalah karena kejahatan yang mereka lakukan telah merugikan banyak pihak, terutama rakyat. Setiap tahun berapa banyak uang rakyat yang ditilap koruptor. Lihat saja angka kecelakaan lalu lintas yang merenggut ribuan nyata, yang ada hubungan dengan buruknya infrastruktur jalan yang sebagian uang proyeknya masuk kantong pejabat. Begitu juga dengan penyediaan sarana kesehatan di daerah-daerah yang minim sehingga ribuan ibu hamil menghembuskan nafas karena terlambat mendapat penangan medis, lagi-lagi karena keterbatasan fasilitas kesahatan, dokter desa, minimnya infrastruktur jalan dan jembatan. Belum lagi jutaan anak didik usia sekolah yang putus pendidikan lagi-lagi karena mahalnya biaya yang harus ditanggung orangtuanya. Padahal pemerintah bisa memberikan pendidikan gratis, jika APBD yang rata 25% lebih dikorup. Masih banyak alasan lainnya yang bisa menjadi bukti nyata bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang harus mendapat hukuman paling berat, yakni hukuman mati. Berikut rangking provinsi terkorup yang rilis FITRA dan diterima di Jakarta, Senin (10/9). 1). DKI Jakarta, Rp 721, 5 miliar, 715 kasus 2). Aceh Rp 669,8 miliar dan 620 kasus 3). Sumatera Utara, Rp 515,5 miliar, 334 kasus 4). Papua, Rp 476,9 miliar, 281 kasus 5). Kalimantan Barat, Rp 289,8 miliar, 334 kasus 6). Papua Barat, Rp 169 miliar, 514 kasus 7). Sulawesi Selatan, Rp 157,7 miliar, 589 kasus 8). Sulawesi Tenggara, Rp 139,9 miliar, 513 kasus 9). Riau, Rp 125,2 
miliar, 348 kasus 10). Bengkulu, Rp 123,9 miliar, 257 kasus 11). Maluku Utara, Rp 114,2 miliar, 732 kasus 12). Kalimantan Timur, Rp 80,1 miliar, 244 kasus 13). Sumatera Selatan, Rp 56,4 miliar, 239 kasus 14). Nusa Tenggara Barat, Rp 52,8 miliar, 307 kasus 15). Sulawesi Tengah, Rp 52,8 miliar, 294 kasus 16). Sulawesi Barat, Rp 51,3 miliar, 335 kasus 17). Gorontalo, Rp 48,8 miliar, 203 kasus 18). Maluku, Rp 47,8 miliar, 326 kasus 19). Nusa Tenggara Timur, Rp 44,4 miliar, 219 kasus 20). Jawa Barat, Rp 32,4 miliar, 363 kasus 21). Lampung, Rp 28,4 miliar, 181 kasus 22). Sumatera Barat, Rp 27,4 miliar, 188 kasus 23). Kalimantan Selatan, Rp 22,8 miliar, 221 kasus 24). Kalimantan Tengah, Rp 21,4 miliar, 153 kasus 25). Banten, Rp 20,1 miliar, 207 kasus 26). Kepulauan Riau, Rp 16,1 miliar, 109 kasus 27). Sulawesi Utara, Rp 16 miliar, 227 kasus 28). Jambi, Rp 15,8 miliar, 172 kasus 29). Jawa Timur, Rp 11,424 miliar, 153 kasus 30). Jawa Tengah, Rp 10,4 miliar, 145 kasus 31). Bali, Rp 6,2 miliar, 81 kasus 32). DIY, Rp 4,7 miliar, 23 kasuss 33). Kepulauan Bangka Belitung, Rp 1, 9 miliar, 76 kasus
( Sumber CoPas FanPage Fb : info Pengetahuan Dunia & Teknologi )

Salam Sukses
Semoga Bermanfaat

Ulletea

{ 1 comments... read them below or add one }

doni said...

trimakasih infonya sangat menarik,,
bermanfaat sekali,,
mantap,,

Post a Comment

Tolong komentarnya berhubungan dengan artikel yang ada. Komentar yang mengarah ke tindakan spam akan dihapus atau terjaring secara otomatis oleh spam filter